Dari sana, saya lalu merancang pertemuan keluarga pelaku dengan keluarga korban. Kesepakatan tercapai, kedua belah pihak sepakat mengikat janji perdamaian setelah keluarga pelaku mengganti biaya pengobatan korban (karena keningnya lebam) hingga sembuh dan ada jaminan setelah itu tak ada lagi perkelahian. Tiga surat dibuat dan ditandatangani keluarga korban dan diketahui Kepala Desa, yakni nota perjanjian damai, surat permohonan pencabutan perkara dan surat tidak keberatan atas penangguhan penahanan para pelaku penganiayaan.
Saya senang dan berpikir surat itu akan menjadi kunci penyelesaian perkara. Keesokan harinya, surat kami serahkan ke Polres. Dua hari tak ada jawaban. Artinya, sepupu saya harus mendekam tiga hari di dalam tahanan. Selama itu pula, sepupu saya dijadikan obyek ‘latihan’: ditinju, dibenturkan ke terali besi, kadang kakinya ditindih kaki kursi yang diduduki seorang polisi atau calon polisi yang masih berstatus magang!
Pada hari keempat, saya dipanggil bertemu Pak Kasat. Kaget saya begitu menghadap, karena Pak Kasat bercerita, bahwa untuk mencabut perkara itu diperlukan semacam sumbangan finansial untuk mendukung operasional kepolisian. Dia bilang, kasus demikian bukan termasuk delik aduan, sehingga tak bisa dicabut dan dihentikan begitu saja.
Kepada Pak Kasat saya mengaku awam dan tak tahu ‘prosedur’ yang harus dilakukan. Ia pun berujar: “Biasanya, (untuk mencabut) kasus demikian dibutuhkan biaya Rp 10 juta. Tapi, kepada Anda, saya persilakan semampunya. Prinsipnya, jangan merasa keberatan dan memberatkan keluarga tersangka. Dan, angka tadi jangan dijadikan acuan. Yang penting Anda paham dan jangan disampaikan kemana-mana.”
Saya mengiyakan, dalam arti akan membicarakan dengan keluarga para pelaku penganiayaan. Saya juga menyatakan kalau saya hanyalah berperan sebagai mediator untuk penyelesaian kasus itu, dan Pak Kasat memaklumi posisi saya yang tak bisa membuat keputusan apalagi menentukan tawar-menawar nilai sumbangan operasional untuk kepolisian.
Kesal, marah dan kaget bercampur aduk. Saya sampaikan kepada keluarga pelaku, bahwa ada permintaan demikian. Masalah pun diambil alih kakak sulung dari sepupu saya yang terlibat penganiayaan. Belakangan, keempatnya sudah ‘berhasil’ keluar dari tahanan setelah menyumbang Rp 5 juta.
Saya bersyukur, sepupu saya terhindar dari siksaan berkepanjangan. Selama sepekan, ia hanya makan seadanya, pagi dan sore hari. Sementara kiriman makanan dan rokok dari keluarga tak pernah sampai pada yang bersangkutan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar